Melihat demo
besar-besaran di gedung DPR mengharuskan saya untuk men-toreh-kan hitam
diatas putih ini. Sehari sebelumnya saya menulis tentang seorang ayah dengan
begitu kasih sayangnya yang besar terhadap kedua putranya, Nepotisme ber-Topeng
Kasih Sayang, begitu judulnya.
Di tengah
polemik isu palu hakim patah berkeping-keping, saya tetap berusaha untuk
netral, berada di posisi tidak memihak siapapun. Sama persis dengan yang saya
lakukan ketika pemilu presiden kemarin. Keputusan untuk menjadi swing voters
merupakan hal paling cocok dengan diri saya.
Pada hari
beredarnya postingan peringatan darurat berwarna biru saya mengetahui hal ini
memang sudah keterlaluan dan harus dilawan, aksi protes dari rakyat harus benar-benar
disuarakan. Saya berusaha untuk tetap menyuarakan kondisi saat ini lewat story
ig dan wa.
Untuk menjadi
pribadi yang netral, saya harus memahami suatu isu dari segala arah, konsep
sudut pandang, jarak pandang, lingkar pandang, dan lensa pandang saya terapkan
dalam melihat isu ini. Memang benar, hukum sedang dipermainkan di depan mata
rakyat, hal itu tak dapat disangkal, namun perlu perspektif dari segala arah
untuk mengetahui secara utuh apa yang sedang terjadi.
Saat membaca
komentar dan pertikaian yang ada di media sosial dapat disimpulkan terdapat dua
kubu, rakyat dan rezim. Narasi nepotisme menjadi senjata bagi para rezim untuk mempermainkan
rakyat. Fenomena menjilat ludah sendiri tampak jelas di depan mata. Rezim berusaha
berkuasa penuh tanpa mempedulikan rakyatnya. Tercatat Najwa Sihab menyampaikan apa
yang terjadi di gedung DPR bukan rapat untuk kepentingan rakyat. Ironi sekali
bukan? Dewan Perwakilan Rakyat tapi rapatnya bukan untuk rakyat, kalian bisa
menilai sendiri untuk siapa.
Banjirnya informasi
yang saya dapatkan dari media sosial, dari isu pemerintahan yang sedang mendapatkan
notif peringatan darurat, dari pengalihan isu salah satu pemain sepak bola
timnas indonesia yang terkenal dengan long throw nya, hingga isu kartu
multi akses di kampus saya, hal itu semua membuat saya untuk membuka kembali
buku Catatan Pinggir I tepatnya di halaman 357, 13 Agustus 1977, dengan judul Menglapas
dan Demokrasi. Tertulis disana:
Inggris dan
Amerika Serikat tak hanya melahirkan demokrasinya dari nilai-nilai yang ada,
tapi juga (dan mungkin terutama) dari pengingkaran terhadap nilai-nilai itu. Orang
Inggris memancung rajanya terlebih dulu dan kemudian Thomas Jefferson menulis
Deklarasi Kemerdekaan. Prancis yang demokratis dan Rusia yang sosialistis lahir
dari yang dulu mungkin dianggap kekal.
Mustahilkah?
Sejarah tak terdiri dari kurun demi kurun, angkatan demi angkatan yang
terpisah-pisah. Sejarah adalah persambungan, yang juga berarti perubahan.
Atas tulisan
tersebut saya berpikir kembali apa sebenarnya yang sedang terjadi saat ini. Sembari
berpikir saya teringat salah satu komentar netizen yang saya temukan tadi, tertulis
seperti ini:
ngelawan? gk
lah. gw fokus kerja aja. fokus keluarga, anak, istri. politik itu ya kek ta*…. kmren
lawn..skrng kawan, dulu banyak yg bersuara tumbangkan banteng, sekarang pd
maksa banteng ngusung anis. dr itu sj udh keliatan, yg dikorbankan ya rakyat. penguasa
tetp jd penguasa. mkny mending kerja, tidur, makan, bercinta
Jujur saya
sangat shock dengan komentar tersebut, bagaimana tidak? Dia bisa berkomentar begitu
enaknya tanpa beban sebagai warga negara. Saya mencoba menelaah kembali apa
yang sedang ia pikirkan. Kemudian saya teringat dengan filsafat pragmatisme (bisa
dipelajari sendiri), intinya sesorang itu jika melakukan sesuatu yang tidak
ada manfaat bagi dirinya adalah nihil (koreksi kalau salah). Saya menyimpulkan
komentar tersebut dituliskan oleh seorang bapak yang memiliki tanggung jawab
akan keluarganya, anak dan istri. Bapak itu bukan orang yang tidak memiliki
nalar politik, ia tau akan percaturan politik di kalangan elit, namun ia lebih
mementingkan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga dibandingkan menjadi
warga negara.
Sedikit menambahkan,
skip paragraf terakhir gapapa, coba search di youtube penjelasan Gus Baha akan kurang
baiknya menyelaraskan Wajib dengan Sunnah. Beliau menjelaskan terkait sholat dan
puasa. Salat sunnah boleh dilakukan dengan duduk meskipun kita mampu berdiri. Dan
juga puasa sunnah boleh dibatalkan di tengah-tengah meski tanpa alasan apapun. Akan
saya tulis di lain waktu akan konstitusi Islam terhadap wajib dan sunnah. Kalau
kita kembalikan kepada bapak yang berkomentar itu, tak ada salahnya jika ia
mendahulukan keluarganya karena hal itu menjadi perilaku wajib yang harus ia
jalani. Mencari nafkah untuk keluarganya adalah hal wajib yang tak dapat diselaraskan
denga perilaku sunnah.
Kesimpulannya,
tak memihak (netral) bukan berarti tak mau melihat, memahami, menyuarakan isu yang
sedang terjadi. Namun tak memihak merupakan suatu pilihan dengan berusaha
melihat suatu isu dari segala perspektif. Tentu, hal tersebut dilakukan untuk
menemukan fenomena yang utuh tanpa cacat.
0 Komentar