Kisah ini
ditulis teruntuk para penghafal Al-Qur’an yang sedang ditakdirkan oleh Sang
Kuasa melewati jalan berliku-liku. Baginya - tuk mencapai tempat tujuan - jalan
berliku-liku lebih lama dan banyak rintangan yang dilalui. Sangat berbeda
dengan penghafal Al-Qur’an yang melewati jalan lurus, mulus, lancar, dan cepat.
Kisah ini
ditulis teruntuk para Hafidz/ah yang sedang kebingungan mencari jalan keluar
dari lika-liku itu. Tulisan ini bukan diperuntukkan insan yang telah sampai di
tempat tujuan - marja’ - nan bahagia disana.
Temaram.
Ku-duduk di
serambi masjid kampus pukul tiga malam. Terdengar sayup-sayup deru motor satpam
kampus yang sedang patroli. Sepi, tenang, sembari kurasakan angin segar dini
hari. Diatas, sang bulan menyapa, tersenyum menghibur menanyakan ada apa
gerangan. Bintang-bintang di sampingnya melantunkan kalimat-kalimat pujian
kepada Sang Pencipta. Malam yang indah, gumamku.
Terdengar
lantunan merdu tak jauh dariku, terlihat Ustadzah Eva keluar dari asrama, menggunakan
mukena putih, membawa Al-Qur’an dan sajadah berjalan anggun ke arahku. Beliau
adalah seorang hafidzah, kakak tingkatku selisih empat tahun, cantik dan baik telah
melekat dalam perangainya.
“Viera,
kenapa bengong? Ada masalah kah?” tanya Ustadzah Eva yang kini mencoba duduk
disampingku
“eemmm,
gini ust, saya kangen masa-masa di pondok dulu, mengaji tanpa beban, tak terganggu
kesibukan-kesibukan kuliah, organisasi, maupun hal-hal lain yang membuat saya
jarang mengaji. Dulu jam segini saya lebih memilih untuk menghafal Al-Qur’an
dibandingkan tidur seperti teman-teman” jawabku mendekap diri kedinginan
“Terus
sekarang apa yang sedang kamu pikirin?” tanya Ustadzah Eva kepadaku
“Saya
bingung ust, bagaimana nasib hafalan saya ini, saya sebenarnya ingin hidup di
pondok tahfidz lagi, tapi orang tua saya tidak berkenan. Padahal ustadzah saya
di pondok dulu menyarankan ketika kuliah nanti kalau bisa tinggal di pondok
tahfidz. Yaa wajar sih, mungkin karena kultur sanak keluarga saya itu bukan
seorang hafidz/ah seperti teman-teman saya. Jadi kurangnya perhatian akan hal
ini. Berbeda dengan teman-teman saya yang memiliki turunan penghafal Al-Qur’an,
pasti hal ini menjadi prioritas utama dalam hidup” jawabku sendu
Ustadzah Eva
diam, mungkin ia sedang memikirkan hal yang pas bagiku. Suara-suara qiroah
menjelang subuh mulai terdengar, beberapa mahasiswa mahasiswi yang tinggal di asrama
kampus berdatangan ke masjid satu demi satu. Sinar rembulan kini mulai pudar
tergantikan oleh cahaya lampu-lampu masjid yang baru dinyalakan.
“Mungkin
ini yang terbaik dari Allah buat kamu Viera, bisa jadi ketika kamu tetap
memaksakan menjadi seorang hafidzah kamu keteteran, malahan nggak kepegang. Dan
mungkin ada beberapa orang yang dirugikan ketika kamu terus memaksakan. Misal, orang
tua kamu kurang bangga dengan hal ini, takutnya kemuliaan Al-Qur’an malah turun
dan citra Hafidzah menjadi buruk dihadapan mereka. Jalan menuju surga nggak
cuma satu, kamu nggak harus jadi hafidzoh, kamu tetap bisa selalu mengaji bin-nadhar
tanpa ada beban menghafal. Aku lebih menyarankan kamu untuk belajar Ikhlas
dan menerima apa yang ada sekarang, kesempatan apa yang akan datang ke kamu,
dan apa yang orang tua kamu ridhoi.” Ucap Ustadzah Eva menerangkan
Aku sontak
terkejut mendengarkan hal itu, tak pernah ku-dengar dari seorangpun akannya. Ku-teringat
akan suatu ayat “Lā ikrāha fid-dīn”. Wejangan Ustadzah Eva itu bak perantara
Sang Kuasa tuk mengingatkanku akan rahmat dan kasih sayangNya yang luas. Kini
akan ku-coba ikhlas dengan apa yang telah Tuhan berikan. Berbakti kepada kedua
orang tua, tentunya. Tak lupa akan kulantunkan ayat-ayat suciNya tuk menggapai
rahmat-Nya. Terimakasih Tuhan, gumam Viera, si Gadis semester 7 yang hendak
beranjak dewasa.
“Viera,
Ustadzah masuk dulu yaa, bentar lagi mau adzan subuh” ucap Ustadzah Eva
“Baik
Ustadzah, tafaddol, Terimakasih yaa ust” jawabku santai
Tak lama
setelah Ustadzah Eva masuk ke masjid, Adzan Subuh dikumandangkan, aku bergegas
tuk mengambil air wudhu guna menunaikan salat subuh berjamaah.
0 Komentar