Ku-Tulis Tuk Mengenang Pejuang Bangsa

 


17 Agustus 45, mengingatkanku sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Ingin kuberikan hadiah bagi tanggal ini. Naifnya, ekspektasi tak seindah mimpi. Kucoba mengulik lemari-lemari usang di ujung gudang rumahku, tak sengaja kutemukan sebuah majalah bertuliskan Media Aktualisasi Himmah Qur’aniyah (MIHNAH) Desember 2021 Edisi Spesial Motta. Aku tersenyum bahagia melihat cover majalah itu, terpampang jelas judul tulisan Sebelum Empat Puluh Lima, yaa itu karyaku. Kucoba buka 2 halaman dari belakang, karena tulisan lama ku itu memang ditaruh belakang sama layouter nya. Kini mataku mulai bergerak kanan ke kiri membaca apa yang tertulis di dalamnya.

 

Tulisan dalam majalah itu

Di sebuah surau kecil, di samping teh manis dan beberapa camilan ringan, aku duduk termenung memikirkan masa depan bangsa, kupikirkan segala problematika yang tak berujung di Negri ini, suara keluh kesah rakyat hanyalah sebagai angin yang lewat, tidak ada jawaban sama sekali dari pemerintah. lya memang aku hanyalah anak kecil yang tak tahu. apa-apa, aku hanyalah rakyat jelata yang tak bisa berbuat apa-apa, tapi aku adalah penerus bangsa, aku ingin menyuarakan suara para rakyat kepada orang-orang berdasi di bangku pemerintahan sana.

"Sis, lagi mikirin apa?" Tanya Dirman kepadaku

"Aku lagi mikirin bagaimana kita bisa merdeka, aku ingin melihat teman-temanku itu hidup dan tidak banyak yang mati, aku sangat kasihan melihat keadaan di sekitar kita sekarang, kita hanya bisa diam dan tak bisa berbuat apa-apa, kita adalah penentu masa depan bangsa kita, kalau kita tidak bisa merdeka, namun bagaimana nasib anak cucu kita nanti, sudah cukup masa kita diinjak-injak oleh para penjajah, aku harap agar anak-anak dan cucu-cucu kita bisa melihat kesengsaraan kita saat ini dan terus bersemangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa” jawabku penuh antusias

"Sis, aku mau nanya, andaikan kita sudah benar-benar merdeka. masih ada nggak ya ancaman- ancaman dari negara luar untuk penerus-penerus kita?" tanya Dirman kepadaku

"Aku belum bisa membayangkan hal itu, Tapi sepertinya pemuda-pemudi penerus kita akan menghadapi ancaman yang lebih besar daripada kita, musuh-musuh kita saat ini masih bisa kita lihat dengan kasat mata, sedangkan mereka tidak?” jawabku menjelaskan

“Maksudnya sis?” tanya Dirman penasaran

“Jadi begini, pemuda-pemudi penerus kita nanti akan menghadapi zaman modern, yang dimana dalam zaman ini semua dibuat tidak nyata, teknologi nantinya akan merubah segalanya, pemuda-pemuda kita nanti akan dimanjakan oleh yang namanya sistem, pemuda-pemuda kita sengaja dibuat pasif, dan tentu hal tersebut dapat melemahkan negara kita" jawabku lagi

"oh, paham paham aku, berarti lebih enakan kita ya, menjadi pemuda di zaman perang seperti ini?" Tanya Dirman padaku

"ya bukan begitu juga, semua itu membutuhkan perjuangan, tugas kita sekarang adalah bagaimana cara kita agar tidak ditindas oleh penjajah, kita harus memerdekakan bangsa ini, agar nantinya penerus-penerus bangsa ini bisa nyaman dan tidak ada beban peperangan lagi, kita harus berhasil, bagaimanapun caranya, aku tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kita tidak berhasil memerdekakan bangsa ini, kita akan selamanya ditindas, kita semua akan menjadi budak, kata kemerdekaan hanyalah sebatas ilusi" Jawabku tenang

"Miris aku dengernya, lalu bagaimana cara kita memerdekakan bangsa ini?" Tanya Dirman padaku lagi

"Kembali lagi kita melihat bagaimana pemuda-pemudi disekitar kita, karena suatu bangsa itu tergantung mereka, masa depan bangsa ada di tangan-tangan kita semua, kalau kita tidak mau berjuang mati- matian, maka kita akan menjadi rakyat jajahan selama- lamanya" jawabku membara

Dari kejauhan terdengar suara tembakan, aku dan Dirman segera bergegas, kita segera menuju hutan yang sudah menjadi markas bagi para pemuda-pemudi pejuang kemerdekaan.

"Ada apa sis?" Tanya Lintang padaku sesampainya aku disana

"Lapor ketua, kami mendengarkan suara tembakan di daerah kami" jawabku tegang

"Semuanya! Bersiap!" seru pemimpin kami kepada pemuda-pemudi yang lain

Aku dan Dirman segera mengambil bambu runcing yang sudah disediakan di markas, aku mengikuti Dirman yang sedang menuju ke dataran tinggi. Kita mendapat tugas sebagai mata-mata, aku langsung mengeluarkan teropong yang ada dalam tas, kudekap erat bambu runcingku dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku memegang teropong, aku berdiri tegap bersama Dirman, melihat para pasukan belanda berjalan dengan formasi 97, Lintang juga menyerukan kepada teman- teman dibawah sana agar tidak terlalu gegabah keluar dari persembunyian masing-masing. Namun tidak disangka, aku merasakan keganjalan di sekitarku, sepertinya ada yang mengawasi gerak-gerikku dan Dirman, padahal selama ini tempat ini paling aman dari segala tempat, aku mengajak Dirman untuk turun ke bawah, kami berdua berjalan di tengah-tengah lelangnya pasukan-pasukan yang bersembunyi, aku berjalan duluan, Dirman mengikutiku.

Tak ada seorang pun di sekitar kami, tempat persembunyian teman-temanku juga masih jauh berada di bawah. Ketika aku berjalan, terdengar suara tembakan di belakangku, seketika itu juga jantungku berdegup kencang, aku tak berani menoleh, aku tak ingin Dirman mati. Tembakan kedua terdengar lagi, nyaring sekali terdengar di telingaku, peluru menembus punggungku, darah mengucur deras, bambu runcing di tangan kananku terlepas begitu saja, rasa nyeri di tubuhku menjadi-jadi, tubuhku lemas dan tak berdaya lagi. Kulirik apa yang sedang terjadi di belakangku, terlihat 7 orang pasukan belanda dengan 1 pemimpin di tengah yang menyodorkan tembak, dan dibawahnya terlihat Dirman yang sudah tak bernyawa. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya dalam rasa sakit ini, tubuhku mulai runtuh, aku terjatuh ke tanah dan kurasa akan mati.

"Dirmaaaan!" aku berteriak dalam hening, tak seorangpun yang mendengarku.

 

"Siska, Sis, Sis, bangun, bangun, udah subuh” Pak Ustadz membangunkan

Aku termenung sejenak, aku mengatur nafasku yang tersengal- sengal dan mengusap keringatku, aku hanya bisa mengucapkan kalimat-kalimat toyyibah, aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Kulihat didepanku laptop yang masih menyala dan buku bacaan kampus yang masih terbuka. Sepertinya aku sadar semua cerita diatas itu hanyalah sebuah perjalanan mimpi.

 

Tak seburuk yang kukira, aku tersenyum dengan tulisan-tulisan lama ku. Begitu indah ketika di awal cerita kutorehkan kekhawatiran para pejuang bangsa akan masa kini. Kukira hal ini dapat mengingatkan untuk selalu tetap berjuang tuk tak tertindas bangsa lain. Sudah banyak yang dilakukan oleh pejuang-pejuang terdahulu untuk meraih kemerdekaan, begitu indah dengan kita membuka buku-buku sejarah kemerdekaan. Kini ketika sudah merdeka, mereka berharap kepada kita untuk tetap mempertahankan kemerdekaan, jangan sampai terjajah kembali. Happy Independence Day!

Posting Komentar

0 Komentar